Rabu, 06 Januari 2016

SALAM PEMBUKA AGAMA HINDU "OM SWASTIASTU"

Om Swastiastu : “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”.

Om Swastiastu
  "Sebelum dibaca postingan puniki, mohon bantuannya untuk melike Fanspage/halaman puniki dengan mengklik like/suka di pojok kanan atas dan jika dirasa bermanfaat bisa dishare ke semeton lainnya".

Om Swastiastu adalah salam yang kita ucapkan bila bertemu dengan orang lain, sapaan sekalugus doa untuk lawan bicara agar orang tersebut selalu diberkahi oleh TuhanYang Maha Esa.Salam umat Hindu ini sekarang telah menjadi salam resmi dalam pertemuan pertemuan resmi.

Selanjutnya yang perlu kita pahami bersama adalah apa makna yang berada di balik ucapan Om Swastiastu tersebut.

OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi.
Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Mahaesa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Puranalah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.

Dalam Bhagawad Gita kata Om ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.


Kata Swastiastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU,
Su artinya baik,
Asti artinya adalah,
Su + Asti = Swasti
Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti. Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.

 Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika. Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.

Astu artinya mudah-mudahan atau semoga
Kata astu sebagai penutup ucapan Swastiastu itu berarti semoga.

Jadi arti keseluruhan OM SWASTIASTU adalah
“Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”.



Jika ditelusuri lebih lanjut, Kata Swastiastu sangat erat kaitnnya dengan simbol suci Agama Hindu yaitu SWASTIKA.
Swastika merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi.
Dengan mengucapkan panganjali Om Swastiastu itu, sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.

Pengertian Swastiastu dalam beberapa kamus :
  1. Kamus Bahasa Bali Kata “Swastyastu” berasal dari kata suasti, yang berarti selamat, menjadi suastiastu yang berarti semoga selamat. 
  2. Kamus Kawi-Bali “Swastyastu berasal dari kata swasti yang berarti raharja, rahayu, bagia, dan rahajeng. Astu yang berarti dumadak, patut, sujati, sinah. Kata astu berkembang menjadi “Astungkara” yang berarti puji, alem dan sembah. Sehingga “swastyastu” berarti semoga selamat, semoga berbahagia
  3. Kamus Jawa Kuna-Indonesia “Swasti” berarti kesejahteraan, nasib baik, sukses; hidup, semoga terjadilah (istilah salam pembukaan khususnya pada awal surat atau dalam penerimaan dengan baik). Sedangkan “astu” memiliki 2 arti yaitu: 1. Semoga terjadi, terjadilah…. (seringkali pada awal sesuatu kutuk, makian, berkah, ramalan), pasti akan….. 2. Nyata-nyata, sungguh-sungguh (campuran dengan “wastu”?). Kata "astu" berkembang menjadi “astungkara” yang berarti berkata “astu”, mengakui, mengiyakan dengan segan, perkataan “astu”. Dari pengertian tersebut kata “swastyastu” berarti semoga terjadilah nasib baik, sungguh sejahtera. 
  4. Kamus Sanskerta-Indonesia “Svasti” berarti hujan batu es, salam, selamat berpisah, selamat tinggal. Berkembang menjadi “svastika”, “svastimukha”, “svastivacya”. Katasvastika berarti tanda sasaran gaib, tidak mendapat halangan, pertemuan empat jalan, lambang agama Hindu. Svastimukha berarti yang belakang, terakhir, penyanyi, penyair.Svastivacya berarti salam ucapan selamat. Kata “astu” berarti sungguh, memuji. Dari pengertian kedua kata tersebut dapat disimpukan “svastiastu” berarti menyatakan selamat berpisah. 
Dari beberapa pengertian kata dalam kamus-kamus tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah yang saling terkait satu sama lainnya yaitu: 
  • pengertian “Swastyastu” dalam kamus Bahasa Bali, Kawi Bali dan Jawa Kuna memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu berarti semoga selamat, semoga bahagia, semoga sejahtera. Sedangkan dalam kamus Sanskerta berarti pernyataan selamat berpisah, selamat tingga
  • kata “astu” sebagai penutup hanya mempertegas kata “svasti” yang memang memiliki arti semoga, selamat berpisah, selamat jalan. 
Pada dasarnya pengertian “swastyastu” pada keempat kamus itu adalah sama, saling melengkapi satu sama lainnya, yaitu Ya Tuhan semoga kami selamat, selamat tinggal dan semoga sejahtera (Semoga sejahtera dalam lindungan Hyang Widhi), tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini. Selamat tinggal disini maksudnya adalah selamat tinggal pada hal-hal sebelumnya yang telah dialami atau dilalui dan semoga selamat dan sejahtera pada apa yang akan dialami atau dilalui pada kehidupan sekarang. Dalam hidup tidak bisa dipisahkan dari tiga waktu yaitu: atita, nagata, dan wartamana (dahulu, sekarang, dan yang akan datang). 
Dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari kata “swastyastu” diawali dengan kata “Om” sebagai ucapan aksara suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini biasa atau lumrah digunakan sebagai salam pembuka (selain swastiprapta, yang berarti selamat datang) kemudian diakhiri dengan “Om Santih, Santih, Santih Om” yang berarti semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai di akhirat (selain swastimukha yang berarti salam penutup yang belakang).


Di beberapa kota besar, kini kata “swastiastu” juga sering digunakan sebagai salam penutup atau akhir dari sebuah percakapan.Jika dilihat dari pengertian arti katanya dalam kamus memang wajar kata itu dipergunakan sebagai salam penutup sesuai dengan artinya, namun jika melihat nilai rasa maka akan terasa janggal atau kurang pas. 
Dalam agama Hindu, sebuah awal adalah akhir dari semua yang terjadi, sedangkan akhir adalah sebuah awal sesuatu yang baru. Hal ini yang mungkin dijadikan patokan penggunaan kata “swastiastu” sebagai salam pembukaan dan salam penutup perjumpaan atau percakapan (selain mungkin penunjukan eksistensi terhadap agama lain bahwa agama Hindu juga memiliki salam awal dan akhir seperti halnya agama lain). Namun, jika melihat lagi pada nilai rasa, rasanya kedengaran janggal. Pada kesempatan ini saya juga mencoba menyampaikan beberapa padanan kata, yang mudah-mudahan tidak jauh berbeda artinya dengan “swastyastu” sebagai salam penutup perjumpaan atau percakapan. Beberapa kata tersebut antara lain: “swastimukha”, yang berarti permulaan (mukha) kesejahteraan, permulaan nasib baik, permulaan keselamatan; “swastisanti”, yang berarti ucapan selamat berpisah dan damai (santi), selamat jalan dan semoga damai.

Namun kini dikalangan remaja kata Om Swastiastu dan Om Santih, Santih, Santih Om sering disingkat dengan kata OSA maupun OSSSO hal ini banyak ditemui ketika menjelang hari raya agama Hindu ucapan selamat Hari Raya sering diawali dan diakhiri dengan kata OSA dan OSSSO. Hendaknya janganlh menyingkat Salam Panganjali puniki karena seperti uraian diatas bahwa salam Om Swastiastu maupun Om Santih, Santih adalah merupakan Salam sekaligus Doa.

Jadi, salam Om Swastiastu itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastiastu itu doa dipanjatkan untuk KESELAMATAN SEMUA PIHAK TANPA KECUALI

Salam Om Swastiastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastiastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan.

Demikianlah pengertian dan makna Om Swastiastu yang tiang dapat dari berbagai sumber, semoga dapat memberikan pencerahan. mohon kritik dan sarannya.

Om Santih, Santih, Santih, Om

dan dari dwipuspitawt

SATUA BALI : I BELOG

Satua Bali : I Belog


Ada kone anak pacul mapungkusan Pan Luh mamondok joh uli desa. Sedek dina anu, ada kone anak lakar meli nyuh ajaka pepitu ka pondokne. Lantas anake ento tundena negak di tikehe tur dampingina pabuan sambilanga mragatang pangajin nyuhe.
Di subanne cumpu di aji, lantas Pan Luh nunden ngantiang roangne lakar tundena ngalap nyuh, reh roangne ento tundena sangkep nyuksukin dewekne di Bale Banjare. Wireh makelo roangne masi tonden teka, lantas anake meli nyuhe nagih I Bebana menek, nanging Pan Luh apang nuunang ajin nyuhe, lantas anake ento ngembus udeng tur menek nyuh. Pan Luh lantas ka uma magarapan.
Kacrita di subanne Pan Luh malipetan uli uma, aeng kone tengkejutne ngajinang anake ento makejang mati tur matatu tendasne, mirib tepena baan nyuhe ane mabrarakan ngebekin abian. Nanging sujatinne makejang mati labuh. Pan Luh keweh gati kenehne, lantas kajangina kone bangkene ento saka besik abana kumah meten. Laad getihne urugina kone baan tanah, kanti tusing malaad apan-apan.
Suba ento, lantas punduhanga kone nyuhe sambilanga makeneh-keneh lakar ngutang bangkene ento ka tukade, lantas ia ningeh anak magending. Pan Luh tengkejut gati kone ia, reh ane teka ento kadena sambangan lakar ngejuk dewekne. Mara pedasanga, kaget I Belog kone ento, jlema nyem-nyeman tur gegendinganne sing taen lenan teken “Katak Mataluh”. Lantas ia ngeka daya lakar nunden I Belog ngentungang bangkene ka tukade.
pic: wahyoedotinfo
pic: wahyoedotinfo
Mara kone paek I Belog, lantas Pan Luh ngomong, “Mara teka Belog, tumben semengan cai suba magending, mirib lega gati keneh caine?” Masaut I Belog, “Tan ja kenten Jero, sakeng mula ja agol tiang keto. Yening keweh, magending tiang. Niki dadi liu gati Jerone nuunang nyuh, sira nika ngalapang? Dusta, dusta nika?” “Ooo, awake magerengan i busan ajak dustane lantas kamatiang.” “Sampun mati nika?” “Suba, men cai nyak nulungin awake?” “Lamun nyak Jerone nulungin tiang, tiang nyak nulungin Jerone.” “Nulungin ngenken?” “Kene Jero, krana tiang mariki, tiang masi ukana ngidih tulung teken Jerone, reh tiang mati patut mayah utang teken Gusti Alit. Yang tiang tusing mayah mani, tiang lakar aturanga.” “Akuda cai mutang?” “Satak seket nika kayang putra.” “Beh liu gati utang caine.” Keto kone munyinne Pan Luh sambilanga kituk-kituk. “Yen cai aturanga, sinah cai lakar sisip.”
“Beh, nawegang tulungin ja tiang Jero, nyanan ngenken ja tiang tunden Jerone, tiang lakar nyak.” Keto kone munyinne I Belog tur masebeng jejeh. Masaut Pan Luh, “Nah, awake nyak nulungin cai, nanging jani awake malu tulungin. Buina cai apang masumpah, lakar tuara nuturang teken anak len. Yan cai nuturang, apang cai sander kilap.” Keto munyinne Pan Luh. I Belog tengkejut tur masaut, “Beh, sander kilap, minah tiang takut, tiang sing nyak.”
“Sing nyak, sing demen cai maan pipis samas?”
Mara keto munyin Pan Luhe, lantas bengong tur enggang kone bungutne I Belog, ngeneh-ngenehang lakar maan pipis samas, lantas ia ngomong, “Yan tiang nenten nuturang teken anak len, lakar sandera masi tiang teken kilape? I pidan jeneng Jero Baliane katiman mendep dogen masi sandera nika teken kilape.” “Dong dewa ratu Belog, sajaan belog gati cai. Katawang jinenge ento anak sing ja masumpah buka caine, buin mula tusing bisa mapeta.” Keto munyinne Pan Luh sambilanga kedek ingkel-ingkel.
Sawireh I Belog buat pesan lakar nganggon pipis, dadi nyak kone ia lantas masumpah buka patuduh Pan Luhe. Suba kone keto, lantas I Belog tundena kone ngantiang ditu sambilanga tundena menek nyuh. Pan Luh lantas kone ia mulihan ngisidang bangkene abesik abana ka paon tur kaputa kone aji klangsah, lantas kaukina I Belog, “Nah Belog, ento apa bangken dustane, jani cai ngutang ngaba ka tukade, nanging melahang ngilidang apang eda ada anak nepukin. Yan ada anak nepukin, pedas lakar ia buin idup tur ngamatiang cai.” Keto kone munyinne Pan Luh sambilanga nyarirek magoba bangke. I Belog jejeh gati kone ngajinang goban Pan Luhe keto, dasdasan kone ia malaib yen sing enggalang gisianga teken Pan Luh. “Ih Belog, eda cai takut! Yen cai sing ada anak nepukin ngutang bangkene ento, sinah ia sing lakar buin idup.”
Ditu lantas tegena kone bangkene ento teken I Belog, tur tangar gati kone ia mengkeb-mengkeb ngambah di abian buluhe, lakar ngutang bangkene ento di tukade ane tuara ambul apa johne uli ditu. Sedek ento ada kone anak majalan ditu negen saang, lantas I Belog ngenggalang kone maalingan di punyan kayune gede, dadiannya sing kone ajinanga teken anake ento. Di subanne liwat joh anake ento, lantas ngenggalang kone I Belog majalan ngentungang bangkene di tukade, lantas anyud.
Sapatinggal I Belog, kendel gati kone Pan Luh, reh marasa sing ja lakar liu mesuang pipis upah ngutang bangkene makapitu ento. Ditu lantas kisidanga bangkene buin abesik uli jumahan abana ka paon, siamina yeh tur kaputa kone aji klangsah, lantas ia pesu mapi-mapi metek buah nyuh.
Buin akejepne teka kone I Belog gendang-gending kabatek baan kendelne, tur lantas ia ngomong, “Sampun entungang tiang nika bangkene, mangkin icen tiang upah!” “Nah,” keto kone munyinne Pan Luh mareren kone ia metek buah nyuh. “Beh, awake engsap ngorahin cai buin abedik.” “Napi nika?” “Mantra, apang eda malipetan bangkene buin mai.” “Nang abesik nika singa ada anak nepukin dugas tiange di tukade.” “Sing ja keto Belog, patute mamantra malu ngancang ngentungang bangkene di tukade.” “Yen tan mamantra kenken nika?” “Yen sing mamantra, sinah buin ia malipetan, tegarang ja buin delokin!” keto kone munyinne Pan Luh sambilanga ngenggalang majalan ka paon tur masebeng buka anake jejeh, lantas tutuga kone teken I Belog.
Neked ditu, lantas ngomong Pan Luh, “Nah dong dayanin suba buin malipetan bangkene mai, ento kaenot Belog, kema buin enggalang kutang!”
Maisi sebet kone keneh I Beloge negen bangkene ento, lantas entunganga kone di tukade. Di subanne anyud tur suba tusing ngenah bangkene, mara kone ia malipetan ka umah Pan Luhe lakar nagih upah.
Teked ia ditu, lantas matakon Pan Luh, “Men suba mamantra cai?” “Sampun.” “Kenken baan cai mamantra, tegarang orahin awake!” “Kene nika, umah awake dong umah cai, umah caine dong umah awake, magedi cai eda malipetan, malipetan, malipetan! Keto nika baan tiang mamantra, buka pangajah jerone.” “Dadi malipetan dogen omongan cai pang telu, patute anak mantrane makejang uli panyumu kayang panyuud omongang pang telu. Jani sing salah tampi bangkene, kadena buin ngaukin dewekne. Beh padalem gati cai Belog, enden antiang malu awake enu nyemak pipis!” Keto kone munyinne Pan Luh mapi-mapi masebeng rentang, lantas ia mulihan.
I Belog jejeh kone kenehne, jalanne saja bangkene ento buin malipetan lantas ia ngenggalang nelokin ka paon. Mara kone ungkabanga klangsahe, tengkejut kone ia ngajinang bangkene suba buin ditu, lantas enggalanga kone tegena abana ka tukade, kenehne apang tusing tawanga teken Pan Luh. Pan Luh kendel gati kone ia ngajinang I Belog, lantas buin kone kisidanga bangkene buin abesik pejanga di paon.
Kanti pang lima kone I Belog suba bakat belog-beloga. Di pangenemne, lantas tendas bangkene colekina adeng teken I Belog. Pan Luh bareng kone nyolekin limanne aji pamor, lantas bangkene ento tegena teken I Belog.
Teked di tukade lantas engtunganga kone di tibuane ane dalem gati tur entung-entungina batu gede-gede, kenehne apang eda buin dadi baana bangun malipetan, suba keto lantas ia malipetan ka umah Pan Luhe.
Nu joh kone I Belog suba jagjagina teken Pan Luh, tur ngorahang jumah meten jani bangkene, sing ja buin di paon, lantas ngomong kone I Belog, “Beh suba urug tiang aji batu gede-gede, dadi baana bangun malipetan mai. Yen saja buin malipetan, lakar getep tiang polonne, kikilne, dadi ja baana buin malipetan.” Keto kone munyinne I Belog, lantas tutuga kone Pan Luh kumah meten.
Teked ditu, sajaan kone suba ditu buin bangkene, tendasne macolek adeng muah limanne macolek pamor. Mara kone okana getepa batisne teken I Belog, lantas sing kone baanga teken Pan Luh, reh sing dadi ngetoang bangke. I Belog sing ja ngomong buin, jeg tegena kone bangkene ento abana ka tukade. Teked di tukade lantas jagurina. Mara kone I Belog suud ngentungang bangkene ento, lantas nelep kone ada anak mamancing. I Belog ngaden bangkene ento buin bangun, lantas jag jagurina kone anake ento sambilanga ngomong banggras, “Bangke, sakit ended iba buin nagih malipetan. Jani taanang lakar bangkaang kai polon ibane.” Keto kone munyinne I Belog sambilanga magulet ngajak anake ento.
Kacrita sapakalah I Belog uli jumah Pan Luhe, kendel gati kone Pan Luh, reh mesuang pipis tuah samas, nyidayang ngutang bangke pepitu tur lakar tusing nepukin ala. Ditu lantas Pan Luh mulihan nyemak pipis lakar baang I belog, tur lantas ia majalan ka tukade.
Teked ditu, dapetanga suba suud magerengan, reh belasanga teken anake ajaka liu. Ditu lantas I Belog teken ane ajaka magerengan muah Pan Luh ajaka ka umah Prebekele.
Teked ditu lantas I Belog nuturang indike sakadi-kadi. Pan Luh kapatutang danda kudang tali, tur mayah upah ngutang bangke pepitu.

SUMBER: BUKU I NENGAH TINGGEN

MANTRA TRI SANDHYA BESERTA TERJEMAHANNYA

MANTRAM PUJA TRISANDYA


Puja Trisandya dilaksanakan tiga kali sehari karena menurut Lontar Niti Sastra, kita sebagai penganut Hindu Sekte Siwa Sidanta memuja Matahari (Surya) sebagai keagungan dan kemahakuasaan Hyang Widhi. Matahari juga sumber energi atau sumber kehidupan. Pemujaan itu dimulai pagi-pagi menyongsong terbitnya matahari (sekitar jam 05.30), siang hari tepat jam 12.00 ketika Bumi berada dalam posisi yang menerima panas Matahari maksimum, dan sore hari ketika matahari menjelang “tenggelam” (sekitar jam 18.30). Trisandya terdiri dari dua kata, yaitu “Tri” artinya tiga,“Sandya” artinya sembahyang. Jadi Trisandya artinya sembahyang tiga kali sehari. Puja Trisandya diucapkan secara lengkap keenam baitnya, karena tiga bait pertama adalah puja-puji kepada Ida Sang Hyang Widhi, dan tiga bait terakhir adalah permohonan ampun dan kepasrahan kepada-Nya. Bait pertama disebut Mantram Gayatri, dapat digunakan dalam waktu sempit/ penting misalnya sebelum berangkat/ bepergian, ketika akan menyeberang sungai, menjelang, dan setelah kelahiran bayi, mendoakan orang sakit agar lekas sembuh, dan lainnya. Berikut ini adalah keenam bait dari Mantram Trisandya beserta artinya dalam versi yang berbeda-beda sesuai dengan sumber yang telah diperoleh yaitu sebagai berikut:
Bait I:
Om bhùr bhuvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayàt
Bait II:
Om Nàràyana evedam sarvam
yad bhùtam yac ca bhavyam
niskalanko nirañjano nirvikalpo
niràkhyàtah suddo deva eko
Nàràyano na dvitìyo'sti kascit
Bait III:
Om tvam sivah tvam mahàdevah
ìsvarah paramesvarah
brahmà visnusca rudrasca
purusah parikìrtitah
Bait IV:
Om pàpo’ham pàpakarmàham
pàpàtmà pàpasambhavah
tràhi màm pundarikàksa
sabàhyàbhyàntarah sucih
Bait V:
Om ksamasva màm mahàdeva
sarvapràni hitankara
màm moca sarva pàpebyah
pàlayasva sadà siva
Bait VI:
Om ksàntavyah kàyiko dosah
ksàntavyo vàciko mama
ksàntavyo mànaso dosah
tat pramàdàt ksamasva màm

Om Santih, Santih, Santih, Om

A.        Terjemahan I  :
Bait I
Om Sang Hyang Widhi, kami menyembah kecemerlangan dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi yang menguasai bumi, langit dan sorga, semoga Sang Hyang Widhi menganugrahkan kecerdasan dan semangat pada pikiran kami.
Bait  II
Om Sang Hyang Widhi, Nàràyana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa Nàràyana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua.
Bait III
Om Sang Hyang Widhi, Engkau disebut Siwa yang menganugrahkan kerahayuan, Mahadewa (dewata tertinggi), Iswara (mahakuasa). Parameswara (sebagai maha raja diraja), Brahma (pencipta alam semesta dan segala isinya), Visnu (pemelihara alam semesta beserta isinya), Rudra (yang sangat menakutkan) dan sebagai Purusa (kesadaran agung)
Bait IV
Om Sang Hyang Widhi, hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba ini papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba.
Bait V
Om Sang Hyang Widhi, ampunilah hamba, Sang Hyang Widhi yang maha agung anugrahkan kesejahteraan kepada semua makhluk. Bebaskanlah hamba dari segala dosa lindungilah hamba Om Sang hyang Widhi.
Bait VI
Om Sang Hyang Widhi, ampunilah dosa yang dilakukan oleh badan hamba, ampunilah dosa yang keluar melalui kata kata hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba.

Om Sang Hyang Widhi anugrahkanlah kedamaian, kedamaian, kedamaian selalu.
Sumber :  Titib, Dr. I Made. 2003. Tri Sandhya, Sembahyang dan Berdoa. Surabaya : Paramita
B.         Terjemahan  II :
Bait I
Ya Tuhan, yang menguasai ketiga dunia ini, Engkau maha suci dan sumber segala kehidupan, sumber segala cahaya. Semoga Tuhan melimpahkan pada budi nurani kita, penerangan cahaya-Mu yang maha suci.
Bait II
Ya Tuhan, (Narayana), hanya Engkaulah semuanya ini, baik yang sudah ada maupun yang bakal ada. Engkau tak tercela (tak ternoda), murni, abadi, tak terkatakan (tak ternyatakan). Engkau Maha Suci, maha Esa dan tak ada duanya sama sekali.
Bait III
Ya Tuhan, Engkaulah yang diberi gelar Siva, Mahadeva, Isvara dan Paramesvara. Tuhan jugaan yang diberi gelar Brahma, Visnu, dan Rudra. Engkaulah Purusa, Tuhan yang selalu dipuja.
Bait IV
Ya Tuhan, hamba penuh dengan kenestapaan. Perbuatan hamba penuh nestapa, jiwa hamba penuh nestapa. Dan kelahiran hambapun penuh dengan kenestapaan. Selamatkan hamba dari segala kenestapaan dan sucikan lahir bathin hamba.
Bait V
Ya Tuhan, ampunilah hamba ini oh Tuhan penyelamat segala makhluk. Lepaskan hamba dari segala kenestapaan ini. Semoga Tuhan menuntun, menyelamatkan dan melindungi hamba ini.
Bait VI
Ya Tuhan, ampunilah segala dosa perbuatan hamba, ampunilah segala dosa dari ucapan hamba, ampunilah segala dosa dari pikiran hamba. Dan ampunilah segala kelalaian hamba itu.
Semoga damai di hati di dunia dan damai selalu.

Sumber : Titib, Dr. I Made. 2000. Dainika Upasana (Doa Umat Hindu Sehari-Hari). Surabaya : Paramita

C.         Terjemahan III :
Bait I
Om adalah bhur bhuvah svah
Kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang Widhi, Semoga Ia berikan semangat pikiran kita
Bait II
Om Narayana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua
Bait III
Om Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra, dan
Purusa
Bait IV
Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sanghyang Widhi, sucikanlan jiwa dan raga hamba
Bait V
Om ampunilah hamba Sanghyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah oh Sang Hyang Widhi
Bait VI
Om ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa perkataan hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba.
Om. damai. damai, damai, Om.          
                                                 
Sumber   :  Wenten, I Made. 1996. Doa Utama Sehari-hari Agama Hindu. Singaraja : Toko Buku Indra Jaya
Swastika, Drs. I Ketut. 2008. Puja Tri Sandhya-Panca Sembah Arti dan Makna Bunga-Api-Air-Kwangen-Canangsari-Pejati. Denpasar : CV. Kayumas Agung

KITAB SUCI AGAMA HINDU

Weda (Sanskerta: वेद; Vid, "ilmu pengetahuan") adalah kitab suci agama HinduWeda merupakan kumpulan sastra-sastra kuno dari zaman India Kuno yang jumlahnya sangat banyak dan luas. Dalam ajaran Hindu, Weda termasuk dalam golonganSruti (secara harfiah berarti "yang didengar"), karena umat Hindu percaya bahwa isi Weda merupakan kumpulan wahyudari Brahman (Tuhan). Weda diyakini sebagai sastra tertua dalam peradaban manusia yang masih ada hingga saat ini. Pada masa awal turunnya wahyu, Weda diturunkan/diajarkan dengan sistem lisan — pengajaran dari mulut ke mulut, yang mana pada masa itu tulisan belum ditemukan — dari guru ke siswa. Setelah tulisan ditemukan, para Resi menuangkan ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan.[1] Weda bersifat apaurusheya, karena berasal dari wahyu, tidak dikarang oleh manusia, dan abadi.[2] Maharesi Byasa, menyusun kembali Weda dan membagi Weda menjadi empat bagian utama, yaitu: RegwedaYajurwedaSamaweda dan Atharwaweda. Semua itu disusun pada masa awal Kaliyuga.


Hasil gambar untuk WEDA

Etimologi

Secara etimologi, kata Weda berakar dari kata vid, yang dalam bahasa Sanskerta berarti "mengetahui", dalam rumpunbahasa Indo-Eropa berakar dari kata weid, yang berarti "melihat" atau "mengetahui".[3] weid juga merupakan akar kata dari wit dalam Bahasa Inggris, sebagaimana kata vision dalam bahasa Latin.

Upaweda

Upaweda merupakan turunan dari Weda yang merupakan jurusan ilmu yang lebih spesifik dalam aplikasi kehidupan. 
Ayurveda dan Dhanurveda memiliki beberapa kesamaan dalam kegiatan prakteknya. Keduanya bekerja dengan memanfaatkan Marma, energi Prana yang mengalir di dalam tubuh. Ayurveda berfungsi mengobati badan jasmani, sedangkan Dhanurveda memanfaatkan energi prana sebagai pelindung tubuh. Konsep ini juga dikenal dalam ilmu pengetahuan di Cina, dalam akupuntur dan seni beladiri-nya.
Beberapa bidang ilmu seperti Jyotisha (Ilmu Astrologi), Tantra, Shiksha dan Vyakara (Ilmu Tata Bahasa) juga bersumber pada Weda.

SUMBER: https://id.wikipedia.org/wiki/Weda

Selasa, 05 Januari 2016

10 PERBEDAAN UTAMA KRISTEN KATOLIK DAN KRISTEN PROTESTAN

10 Perbedaan Kristen dan Katolik

AGAMA Kristen adalah agama monoteisme. Mereka mempercayai Allah Yang Esa. Kendati mereka “membagi” Allah dalam tiga pribadi, yakni Bapa (Sang Pencipta), Putra (Yesus Kristus, Tuhan yang menjelma manusia), dan Roh Kudus (Tuhan pada hati manusia). Ketiganya tetap satu kesatuan atau disebut Trinitas.
Agama Kristen pecah menjadi tiga aliran gereja, karena perbedaan pendapat para pengikutnya. Antara lain Kristen Ortodoks, termasuk Kristen Koptik di Mesir; Kristen Katolik, dan; Kristen Protestan. Berikut perbedaan Kristen (Protestan) dan Katolik.
1. Paus
Di antara perbedaan Katolik dan Protestan yang paling menonjol adalah, umat Katolik memiliki Paus, pemimpin tertinggi yang bertahta di Vatikan, Roma. Paus pertama adalah St. Petrus, pemimpin 12 murid Yesus. Sampai saat ini, sudah ada 300-an Paus.
Paus saat ini ialah Paus Fransiskus I yang menggantikan Paus Benedictus XVI. Sementara Kristen Protestan tidak mengakui/memiliki pemimpin tertinggi. Hal ini sekaligus memicu perpecahan dan kemunculan Kristen Protestan pada Abad Pertengahan.
Ketika Paus Leo X ingin membangun gereja termegah sedunia, Basilika St. Petrus di Vatikan, ia melakukan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen, yaitu mengumpulkan dana pembangunan gereja, antara lain dengan menjual surat pengakuan dosa.
Hal ini diprotes oleh Pendeta Martin Luther yang memutuskan memisahkan diri. Mereka yang menjadi pengikut Martin Luther disebut Protestan.
2. Deutro-Kanonika
Kitab suci umat Kristen disebut Alkitab. Sementara Injil hanyalah sebagian kecil dari Alkitab yang khusus menceritakan kehidupan Yesus. Namun Alkitab umat Katolik lebih tebal, karena ada tambahan 12 kitab yang dinamakan Deutero-Kanonika.
Kitab-kitab tersebut tidak diakui kebenarannya oleh umat Protestan atas doktrin Purgatory, wilayah di antara surga dan neraka, atau disebut Api Penyucian.
3. Denominasi gereja
Dalam tradisi Katolik, orang biasa dilarang menafsirkan kitab suci selain Magisterium, yaitu para ahli agama yang berpusat di Roma. Umat Katolik di seluruh dunia tinggal mengikuti penafsiran Magisterium. Sedangkan ajaran Protestan membolehkannya.
Dua kebijakan berbeda ini berdampak besar. Umat Katolik di seluruh dunia lebih bersatu karena memiliki satu pendapat yang sama tentang kitab suci. Sehingga umat Katolik tidak terbagi-bagi menjadi beberapa aliran dan denominasi seperti umat Protestan.
Sebut saja GPIB, Pantekosta, Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Batak (HKBP), Adven, dst. Jika umat Katolik bisa datang ke gereja manapun di seluruh dunia, maka berbeda dengan umat Protestan yang mungkin seumur hidupnya hanya datang ke satu gereja yang sama.
4. Hierarki gereja
Dalam tradisi Katolik, terdapat hierarki pemuka agama. Dari romo/pastur, uskup, kardinal, dan paus. Otomatis, terjadi hierarki dalam gereja mereka, yaitu kapel (gereja kecil), gereja paroki (tempat pastur), katedral (tempat uskup/kardinal), dan basilika (tempat paus).
5. Para Kudus (Saint)
Nama-nama orang Kudus biasanya digunakan sebagai nama gereja Katolik (mis: Gereja Santa Maria dan Gereja Santo Petrus). Atau nama baptis, biasanya diakhiri -us: Petrus, Paulus, Fransiskus. Sedangkan umat Protestan menggunakan nama-nama nabi: Abraham, Samuel, Daniel.
6. Sakramen
Sakramen ialah bentuk upacara suci yang wajib dilakukan umat Kristiani sepanjang hidupnya. Gereja Katolik mengakui 7 sakramen, yaitu Baptis (masuk Kristen), Krisma (diberikan saat menginjak remaja), Ekaristi (yang biasa dilakukan di gereja setiap hari Minggu), Imamat (pentahbisan menjadi pastor), pernikahan, pengakuan dosa, dan pengurapan (diberikan saat sakit parah dan hampir meninggal).
Sementara dalam gereja Protestan, hanya mengakui dua sakramen, yaitu Baptis dan Ekaristi. Sakramen Ekaristi dalam ajaran Protestan tidak dilakukan setiap hari Minggu, melainkan pada perayaan hari-hari besar saja.
7. Biarawan/ti
Dalam tradisi Katolik, hanya laki-laki yang boleh menjadi pastur. Sedangkan dalam Protestan, baik laki-laki maupun perempuan, diberikan hak yang sama menjadi pendeta, meskipun kita lebih sering melihat pendeta laki-laki.
Dalam Katolik, wanita yang ingin mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan dapat menjadi suster/biarawati. Syarat menjadi suster sama dengan syarat menjadi pastur, yaitu tidak boleh menikah. Seorang suster harus menutup auratnya dan memakai kerudung.
8. Pengultusan Maria
Umat Katolik sangat mengkultuskan Bunda Maria, ibunda Yesus. Dalam ajaram Katolik ada rosario, semacam tasbih dengan liontin salib, dan berziarah ke Goa Maria setiap bulan Mei dan Oktober. Sementara umat Protestan menolak pengultusan terhadap Maria.
Gereja Katolik dihiasi patung-patung Yesus, Bunda Maria, santo/santa, hingga patung malaikat, sebagai visualisasi. Sedangkan umat Protestan mengharamkan penggunaan patung karena dianggap berhala. Hanya ada sebentuk salib biasa, tanpa tubuh Yesus.
9. Perkawinan
Pemuka agama Katolik dari pastur hingga paus tidak boleh menikah, membujang seumur hidup (disebut hidup selibat). Hal ini diberlakukan agar mereka bisa berkonsentrasi terhadap ajarannya. Sedangkan dalam tradisi Protestan, pendeta diperbolehkan menikah.
Dalam tradisi Katolik, pernikahan hanya boleh terjadi sekali seumur hidup, kecuali jika ditinggal mati pasangannya. Sementara dalam ajaran Protestan pun, perceraian sangat tidak diharapkan.
10. Peribadatan
Peribadatan umat Katolik disebut misa, sementara peribadatan umat Protestan disebut kebaktian. Keduanya berbeda dalam hal isi maupun tata cara pelaksanaannya, kendati sama-sama dilaksanakan pada hari Minggu.
Umat Katolik berdoa membuat tanda salib dengan telunjuk kanan menyentuh dahi, dada, bahu kiri, bahu kanan, secara urut. Sementara umat Protestan hanya berdoa biasa. 
SUMBER: https://vipstation.wordpress.com/2014/03/20/10-perbedaan-kristen-protestan-dan-katolik/