Perjalanan hidup Siddharta Gautama
Siddhartha
Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan
pendiri Agama Buddha. Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama
Buddha sebagai Buddha Agung (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Waktu
kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian besar sejarawan dari awal
abad ke 20 memperkirakan kehidupannya antara
tahun 563SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu
simposium para ahli akan masalah ini,sebagian besar dari ilmuwan yang
menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara
tahun 400 SM untuk waktu meninggal dunianya, sedangkan yang lain menyokong
perkiraan tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.Siddhartha Gautama
merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya,
khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama
Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya.
Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan
secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun
kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong untuk menerima
biografi Sang Buddha yang dijelaskan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan
sejarah.
Orang
Tua
Ayah
dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku
Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta
Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah
meninggal, beliau terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur.
Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu
Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadiisteri Raja Suddhodana.
Riwayat
Hidup
Kelahiran
Pangeran
Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM di Taman Lumbini, saat
Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua
arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat.
Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih
tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan
tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.
Oleh
para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran
kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan
menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan
bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri
Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada
yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa
itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa.
Bila tidak, ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa
itu adalah:
1.
Orang tua,
2.
Orang sakit,
3.
Orang mati,
4.
Seorang pertapa.
Masa
Kecil
Sejak
kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan
sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih
muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat
berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:
·
Kolam Bunga Teratai
Berwarna Biru (Uppala)
·
Kolam Bunga Teratai
Berwarna Merah (Paduma)
·
Kolam Bunga Teratai Berwarna
Putih (Pundarika)
Dalam
Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun
Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya
setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun,
Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:
·
Istana Musim Dingin (Ramma)
·
Istana Musim Panas (Suramma)
·
Istana Musim Hujan (Subha)
Masa
Dewasa
Kata-kata
pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam,
karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi
pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak
pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup
keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan
Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran
hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
Suatu
hari Pangeran Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana, dimana pada
kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat
berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran
Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti
kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian.
Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti,
yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya
sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci
yang akan memberikan semua jawaban tersebut.
Selama
10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan
batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada
saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran
Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh
kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan
menjalani hidup sebagai pertapa.
Setelah
itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk
pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari
usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra
Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena
tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri
dengan ditemani lima orang pertapa.
Masa
Pengembaraan
Didalam
pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari
pertapaBhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa
lainnya, yaitu pertapaAlara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun
setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum
ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa
dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapaiPencerahan Sempurna.
Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi
ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela,
di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun
telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela,
tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil
pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada
suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang
menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan
mengatakan:
“
|
Bila senar kecapi ini
dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan,
putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi
ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan,
maka lenyaplah suara kecapi itu.
|
”
|
Nasehat
tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk
menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah
tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama.
Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya
dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan
kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di
bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya,
"Meskipun
darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi
aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan
Sempurna."
Perasaan
bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa
menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras
membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan
dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya
di ufuk timur.
Pertapa
Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha
(Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di
bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme
Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi
WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari
tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan
warna biru yang berarti bhakti; kuning mengandung arti
kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berarti kasih sayang dan
belas kasih; putihmengandung arti suci; jingga berarti giat; dan
campuran kelima sinar tersebut.
Tujuh Minggu Setelah
Pencerahan Sempurna
1. Selama
minggu pertama,
Sang Buddha duduk
bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan
yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya
tenang sekali dan penuh kedamaian.
2. Selama
minggu kedua,
Sang Buddha berdiri
beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus dengan mata
tidak berkedip selama satu minggu sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan
kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu berjuang
untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang
Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon
Bodhi.
3. Selama
minggu ketiga,
Sang Buddha berjalan
mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara karena melalui
mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih
meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung.
4. Selama
minggu keempat,
Sang Buddha berdiam di
kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha
bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan
metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga
mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih, jingga dan
campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai
bendera umat Buddha.
5. Selama
minggu kelima,
Sang Buddha bermeditasi di
bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di
sinilah tiga orang anak Mara yaitu Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk
mengganggu-Nya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan
menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi),
diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu
dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan
tidak mau melihat, sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu meninggalkan
Sang Buddha.
6. Selama
minggu keenam,
Sang Buddha bermeditasi di
bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan lebat, maka datanglah
seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari
badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai
terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi
seorang anak muda. Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata kata sebagai
berikut:
“Berbahagialah mereka yang
bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat
kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain
di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apa
pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya ‘Sang Aku’ merupakan berkah yang
tertinggi.”
7. Selama
minggu ketujuh,
Sang Buddha bermeditasi di
bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama
tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang
duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan
mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak
karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai
Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan
dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam
(Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan,
Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan membawa
seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha
menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu
mangkuk.
Dengan
demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika.
Setelah Sang Buddha selesai makan kedua pedagang itu memohon agar diterima
sebagai pengikut. Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang
berlindung kepada Sang Buddha dan Dhamma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu
benda yang dapat mereka bawa pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan
tangan kanan dan memberikan beberapa helai rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut).
Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah
tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja
Kesa Dhatu ini. Setelah makan, Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya,
Sang Buddha merenung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada
khalayak ramai atau tidak. Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk
dimengerti
Sang Buddha segera
berangkat menuju ke Taman Rusa Benares. Dalam perjalanan ke Sungai Gaya, Sang
Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat
Sang Buddha yang wajah-Nya demikian cemerlang, Upaka bertanya siapakah guru
Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah orang Yang Maha Tahu dan
tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak
terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya,
sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares
Penyebaran Agama Buddha
Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama
mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha
Shakyamuni, Tathagata('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'),
Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa
yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha
yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau
menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan
Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran
Mulia".
Buddha
Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya
kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya
mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan
mencapai Parinibbana.Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara
dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma
terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi
Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar.
Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).
Sifat
Agung Sang Buddha
1.
Berusaha menolong semua
makhluk.
2.
Menolak semua keinginan
nafsu keduniawian.
3.
Mempelajari, menghayati dan
mengamalkan Dharma.
4.
Berusaha mencapai
Pencerahan Sempurna.
Buddha
Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua
makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh
tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu
·
Tubuh (kaya): pembunuhan,
pencurian, perbuatan jinah.
·
Ucapan (vak): penipuan,
pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
·
Pikiran (citta):
kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Cinta
kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk
kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan
mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap
mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha
akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha
menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan mereka akan
dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".
Sebagai Buddha yang
abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai cara
Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha
Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak pernah mau mengatakan
bahwa dunia ini asli atau palsu, baik atau buruk. Ia hanya menunjukkan tentang
keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang
memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan
masing-masing. Ia tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga
melalui perbuatan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak ada akhirnya, namun
dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan
jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian
mereka.
Pengabdian
Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di dalam
berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan
keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha
adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu,
Sang Buddha adalah Raja Dharma yang agung. Ia dapat berkhotbah kepada semua
orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi
sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan
kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka
yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta
mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup.
Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya
sendiri.
http://islamagamasetan.blogspot.co.id/2016/11/islam-adalah-kegelapan-dan-tidak-ada.html
BalasHapus